HRW: Ribuan Imigran Gelap Anak Disiksa di Detensi RI

Imigran protes kematian rekan mereka di Pontianak
Sumber :
  • VIVAnews/Aceng Mukaram
VIVAnews
Resmi! PKS Usung Imam Budi Hartono Jadi Bakal Calon Wali Kota Depok
- Ribuan anak-anak yang merupakan imigran gelap dari berbagai negara disiksa selama ditahan di rumah detensi di Indonesia. Selain itu mereka juga dibiarkan telantar, tanpa bantuan pangan, tempat berlindung atau bantuan hukum.

AHY Wanti-wanti Prabowo Usai Bertemu Cak Imin

Laporan ini tertuang dalam penelitian Human Right Watch yang disampaikan di Hotel Grand Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 24 Juni 2013. Menurut peneliti hak-hak anak di HRW, Alice Farmer, saat ini tercatat ada sekitar 2.000 anak migran gelap dari total 9.226 migran asing ilegal yang masuk ke Indonesia.
5 Film Romantis Berlatar Perang Dunia II, Kisah Cinta di Tengah Kekacauan


"Jumlah ini naik sekitar 2.000 persen apabila dibandingkan tahun 2008 silam," ujar Farmer.

Mereka masuk ke Indonesia secara ilegal melalui jalur laut untuk dapat menyeberang ke Australia demi mencari suaka. Data HRW di bulan Februari 2013 mencatat kebanyakan pengungsi dan pencari suaka ini berasal Afganistan, Burma, Sri Lanka, dan Iran. "Alasan mereka memilih Australia karena di sana mereka memiliki UU Perlindungan Suaka dan berharap dapat membangun suatu kehidupan baru," kata Farmer.

Kebanyakan dari dua ribu anak imigran ilegal asing ini menyeberang ke luar negara asal mereka tanpa didampingi oleh orang tua. Farmer menyebut, para anak ini mengarungi lautan untuk menyebrang ke negara lain seorang diri dan tanpa mendapat pendampingan. "Atau bisa juga para orangtua mereka sengaja mengirim mereka keluar karena ingin melindungi mereka dan berharap anak-anak ini dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik di negeri orang," kata Farmer.


Rute yang mereka tempuh untuk menuju ke Australia pun beragam. Hasil penelitian HRW menemukan ada tiga pintu masuk yang dilalui para imigran legal ini, yaitu Pontianak, Belawan dan Makassar. Jalur Pontianak biasanya dipilih oleh para imigran yang masuk melalui negara Malaysia. Malaysia dijadikan tempat persinggahan pertama oleh para imigran ilegal dari beberapa negara seperti Somalia, Afganistan, Pakistan dan Iran.


Jalur Makassar ditempuh para imigran ilegal yang memilih jalur Singapura dan Johor lalu menyeberang ke Balikpapan. Dari Balikpapan, mereka lalu menyeberang ke Makassar. Sementara imigran ilegal asal Myanmar memilih jalur darat melalui Thailand atau dapat menggunakan kapal ke Malaysia juga dengan paspor palsu. Biasanya saat tengah menyeberang inilah mereka tertangkap oleh polisi perbatasan Indonesia.


Di Indonesia, nasib para imigran ilegal ini tidak terjamin dengan baik karena tidak ada UU Perlindungan Suaka yang diadopsi. Indonesia juga belum meratifikasi konvensi pencari suaka tahun 1951.


Para imgran ilegal yang ditangkap ini kemudian ditahan di 13 rumah detensi yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Farmer menyebut sesuai dengan UU yang berlaku di Indonesia, maka pemerintah Indonesia dapat menahan para imigran ilegal termasuk anak-anak hingga 10 tahun tanpa melalui proses hukum lebih dulu. Di rumah detensi inilah, anak-anak para imigran ilegal asing mengalami penyiksaan.


Ditendang, Disundut


Hal itu diperkuat dengan wawancara yang dilakukan terhadap 42 narasumber anak-anak imigran ilegal asing yang ada di Indonesia. Sebelas di antara mereka mengatakan disiksa oleh penjaga rumah detensi. "Dari hasil wawancara yang kami lakukan mereka disiksa dengan cara ditendang, ditinju, ditampar, dipukul dengan kayu, dikejutkan menggunakan alat kejut listrik dan disundut rokok," kata Farmer.


Bahkan anak-anak ini kerap dipaksa oleh orang dewasa yang ikut ditahan di sana untuk menyaksikan tindak kekerasan tersebut. Farmer mengatakan tindak penyiksaan bisa terjadi karena berbagai sebab seperti para imigran ingin kabur, kedapatan memiliki ponsel atau karena penjaga rumah detensi kesal dengan kelakuan anak-anak tersebut.


Rumah detensi yang mereka tempati pun juga tidak layak huni. Banyak di antara mereka sudah penuh sesak sehingga mereka harus tidur berjejalan dengan imigran lain, tergenang air dan kotor.


Bahkan ada yang mengatakan rumah detensi tidak memiliki sistem ventilasi yang baik sehingga mereka tidak dapat melihat sinar matahari selama berhari-hari.


Melalui laporan ini HRW menuntut supaya pemerintah Indonesia melindungi hak-hak anak para imigran tersebut. Itu disebabkan Indonesia sudah menandatangani konvensi internasional perlindungan anak.


"Kami sudah menyampaikan laporan ini kepada pemerintah Indonesia khususnya, Direktorat Jenderal Imigrasi Kemlu, namun belum ada respons apa pun dari mereka," ujar Farmer.


Kewajiban Indonesia


Human Right Watch menuntut pemerintah Indonesia untuk ikut bertanggung jawab melindungi hak-hak anak imigran asing ilegal yang berada di negara ini. Menurut HRW, kendati Indonesia belum meratifikasi konvensi tahun 1951 tentang pengungsi dan tidak memiliki UU Suaka, namun pemerintah telah menandatangani Konvensi PBB tentang hak anak. Dalam konvensi itu tertulis Indonesia diwajibkan menyediakan wali bagi anak-anak tanpa pendamping.


Data HRW per Februari 2013 mencatat kebanyakan para pengungsi dan pencari suaka ini berasal dari Afganistan, Burma, Sri Lanka dan Iran. Sementara jumlah pencari suaka dan pengungsi anak di Indonesia pada bulan Maret 2013 berjumlah hampir dua ribu orang.


HRW memberikan enam rekomendasi kepada pemerintah Indonesia. Tiga di antaranya menuntut melakukan peninjauan ulang terhadap semua kebijakan imigrasi dengan mengakhiri tindak kekerasan penjaga terhadap tahanan.


Kedua, membebaskan semua migran anak tanpa pendamping dan secara aktif mencari alternatif di luar rumah detensi bagi anak-anak. Serta ketiga, mengambil langkah yang luas untuk memenuhi keperluan pencari suaka dan pengungsi dalam proses suaka.


HRW juga meminta kepada pemerintah Australia sebagai negara tujuan para pencari suaka untuk bekerja sama dengan Indonesia untuk membuat kebijakan yang lebih baik bagi para pengungsi untuk mencegah mereka mengalami perjalanan yang fatal. Farmer mengatakan telah menyampaikan laporan ini kepada pemerintah Indonesia, khususnya Direktorat Jenderal Imigrasi Kemlu. Namun belum mendengar respons apa pun dari pemerintah.


"Tentu saja kami menantikan kesempatan untuk berdialog dengan pemerintah Indonesia khususnya Direktorat Jenderal Imigrasi soal langkah selanjutnya yang perlu dilakukan untuk melindungi hak-hak anak para pencari suaka ini," ujar Farmer.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya