UU NOMOR 21 TAHUN 2004

 

Bank Muamalat Cetak Laba Rp 14,1 Miliar pada 2023, Aset Tumbuh 9 Persen

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  21  TAHUN 2004
TENTANG
PENGESAHAN CARTAGENA PROTOCOL ON BIOSAFETY TO THE CONVENTION
ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL CARTAGENA TENTANG
KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG
KEANEKARAGAMAN HAYATI)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang    :   

KPU Jamin Netralitas Pemilu, Sudah Diawasi Presiden dan DPR

a.    bahwa tujuan nasional Republik Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
b.    bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati sangat kaya yang perlu dikelola untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum;
c.    bahwa Indonesia telah mengesahkan Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity) dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) yang mengamanatkan ditetapkannya suatu Protokol tentang Keamanan Hayati;
d.    bahwa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong peningkatan penelitian dan pengembangan bioteknologi yang mampu menghasilkan organisme hasil modifikasi genetik yang dimanfaatkan di bidang pangan, pertanian, kehutanan, farmasi dan industri;
e.    bahwa organisme hasil modifikasi genetik mengandung risiko yang menimbulkan dampak merugikan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia sehingga untuk menjamin tingkat keamanan hayati perlu diatur pemindahan, penanganan, dan pemanfaatannya;
f.    bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, d dan e dipandang perlu mengesahkan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati) dengan Undang-undang;

Mengingat    :   

1.    Pasal 5 ayat (1); Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5); Pasal 22A; Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2.    Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556);
3.    Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);

Kubu Prabowo-Gibran Sebut Pemilu Ulang Tak Ada di UU

Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan    :   

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CARTAGENA PROTOCOL ON BIOSAFETY TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI)

Pasal 1

Mengesahkan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati), yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Undang-undang ini.

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

                                                         Telah sah
                                                         pada tanggal 16 Agustus 2004
               
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
             ttd
  BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 88

 

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  21  TAHUN 2004
TENTANG
PENGESAHAN CARTAGENA PROTOCOL ON BIOSAFETY TO THE CONVENTION
ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL CARTAGENA TENTANG
KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG
KEANEKARAGAMAN HAYATI)

I.    UMUM
    Keanekaragaman hayati Indonesia sebagai sumber daya alam yang merupakan rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia wajib dijaga, dilestarikan, dan dioptimalkan pemanfaatannya. Kewajiban tersebut dilakukan dengan maksud agar keanekaragaman hayati tetap menjadi sumber dan penunjang kehidupan rakyat Indonesia baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang demikian juga untuk makhluk hidup lainnya.
    Bioteknologi modern merupakan ilmu pengetahuan tingkat lanjut yang dapat menghasilkan organisme hasil modifikasi genetik (OHMG). Sementara itu, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan teknologinya untuk mengkaji dan mengelola keamanan hayati OHMG sehingga dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Peningkatan tersebut dapat dilakukan melalui kerja sama pengembangan dan penguatan kelembagaan dan sumber daya manusia secara internasional dalam hal pengelolaan bioteknologi yang tepat guna, etis dan aman, serta kerja sama pelatihan dan teknik pemanfaatan, pengkajian risiko, serta manajemen risiko untuk keamanan hayati.
    Produk bioteknologi modern telah memberikan manfaat yang cukup besar untuk peningkatan kehidupan dan kesejahteraan manusia, baik di sektor pertanian, pangan, industri, dan  kesehatan  manusia, maupun  di   bidang   lingkungan   hidup. Namun, terdapat kekhawatiran bahwa produk bioteknologi modern, disamping memberikan manfaat, juga memiliki risiko yang menimbulkan dampak merugikan bagi konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati serta kesehatan manusia. Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah, baik secara hukum, administratif, maupun teknis untuk menjamin tingkat keamanan hayati. Dalam kerangka ini perlu dilakukan pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan, pengembangan kelembagaan, dan infrastruktur, serta penyusunan sistem dan prosedur, baik di pusat maupun daerah, untuk melaksanakan Protokol Cartagena.
    Langkah-langkah tersebut diperlukan, mengingat Indonesia merupakan bagian dari perdagangan global termasuk perdagangan produk hasil bioteknologi. Selain itu, Indonesia merupakan negara kepulauan, negara yang berbatasan langsung dengan negara lain, dan negara pantai terpanjang kedua di dunia sehingga sangat rentan terhadap masuknya OHMG dari luar negeri. Sebagai pengamanan maka pengaturan dan tindakan-tindakan yang diamanatkan Protokol Cartagena perlu ditegakkan dan diterapkan terhadap OHMG di pintu-pintu masuk pelabuhan, bandar udara, daerah perbatasan darat, dan kantor pos untuk keamanan hayati dan masuknya OHMG tanpa izin (ilegal).
    Perdagangan OHMG yang bersifat ilegal kurang efektif bila ditanggulangi secara unilateral dan bilateral, maka diperlukan suatu perjanjian kerja sama regional dan multilateral untuk menjamin keamanan hayati seperti yang diamanatkan oleh Protokol Cartagena. Di samping itu, Protokol Cartagena mengamanatkan pula kerja sama untuk melakukan langkah-langkah darurat (emergency measures) seperti eradikasi dan pembatasan persebaran untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul dari perpindahan tidak sengaja tersebut.
    Daerah mempunyai peranan yang penting mengingat OHMG ilegal dapat masuk melalui pelabuhan  di daerahnya,  di  luar  pelabuhan internasional. Dengan demikian kapasitas daerah dalam melakukan tindakan pengamanan lalu lintas perpindahan OHMG harus ditingkatkan. Di samping itu, daerah harus lebih berperan dalam memberikan persetujuan masuknya OHMG yang akan diintroduksi di daerahnya melalui penyelenggaraan kajian risiko maupun konsultasi dengan masyarakat di daerahnya dalam proses pengambilan keputusan masuknya OHMG. Kelembagaan dan sumber daya manusia daerah juga harus diperkuat untuk menghadapi kemungkinan terjadinya langkah-langkah darurat (emergency measures) di daerahnya.
    Upaya pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sudah seharusnya lebih aktif dilakukan untuk mencegah dampak yang merugikan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Upaya-upaya tersebut harus dilaksanakan dalam lingkup nasional dan internasional yang diwujudkan dalam komitmen internasional.
    Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dan mengingat Indonesia telah mengesahkan Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994, maka sangatlah penting bagi Indonesia sebagai salah satu dari negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia untuk mengesahkan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati).
1.    Latar Belakang dan Tujuan
       Menyadari adanya risiko yang menimbulkan dampak merugikan dalam penerapan dan pengembangan bioteknologi telah dibahas dalam forum internasional sejak negosiasi KKH tahun 1990. Pada tahun 1992 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, KKH diadopsi secara formal oleh negara-negara peserta KTT. Pada tahun 1994 Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994.
        KKH mengatur ketentuan mengenai keamanan penerapan bioteknologi moderen yaitu di dalam klausul Pasal 8 huruf (g), Pasal 17, dan Pasal 19 ayat (3) dan ayat (4), yang mengamanatkan penetapan suatu Protokol di dalam KKH untuk mengatur pergerakan lintas batas, penanganan, dan pemanfaatan OHMG sebagai produk dari bioteknologi moderen.
        Dengan berpegang pada amanat dari pasal-pasal tersebut, Para Pihak konvensi mulai menegosiasikan Protokol tentang Keamanan Hayati sejak Tahun 1995 hingga Protokol tersebut diadopsi pada tahun 2000 dalam sidang kelima Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties) KKH di Nairobi.
        Protokol Cartagena bertujuan menjamin tingkat proteksi yang memadai dalam hal persinggahan (transit), penanganan, dan pemanfaatan yang aman dari pergerakan lintas batas OHMG. Tingkat proteksi dilakukan untuk menghindari pengaruh merugikan terhadap kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, serta risiko terhadap kesehatan manusia.
2.    Manfaat Indonesia Mengesahkan Protokol Cartagena
       Dengan  mengesahkan Protokol Cartagena ini, Indonesia mengadopsi Protokol tersebut sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan sehingga dapat :
        a.    mengakses informasi mengenai OHMG;
        b.    meningkatkan pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan;
        c.    memperoleh manfaat secara optimal dari penggunaan bioteknologi moderen secara aman yang tidak merugikan keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia;
        d.    memperkuat landasan pengawasan perpindahan lintas batas OHMG mengingat Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia yang berpotensi sebagai tempat keluar dan masuknya OHMG secara ilegal;
        e.    mempersiapkan kapasitas daerah untuk berperan aktif dalam melakukan pengawasan dan pengambilan keputusan atas perpindahan lintas batas OHMG;
        f.    mewujudkan kerja sama antar negara di bidang tanggap darurat untuk menanggulangi bahaya yang terjadi akibat perpindahan lintas batas OHMG yang tidak disengaja;
        g.    meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang keamanan hayati baik di pusat maupun di daerah;
        h.    memperkuat koordinasi nasional dan daerah khususnya pemahaman secara lebih komprehensif bagi seluruh lembaga pemerintahan terkait terhadap lalu lintas OHMG yang merugikan bagian atau komponen keanekaragaman hayati Indonesia. Koordinasi juga mencakup perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagai bagian terdepan dan jembatan bagi lalu lintas informasi mengenai perkembangan bioteknologi;
        i.    menggalang kerja sama internasional untuk mencegah perdagangan ilegal produk OHMG.
3.    Materi Pokok Protokol Cartagena
       Protokol Cartagena disusun berdasarkan prinsip “pendekatan kehati-hatian” (precautionary approach) sebagaimana tercantum dalam prinsip ke 15 Deklarasi Rio yang berarti bila terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan seharusnya tidak dipakai sebagai alasan menunda langkah pengefektifan biaya (cost effective) untuk mencegah kerusakan lingkungan.
   
        Protokol  Cartagena terdiri atas 40 Pasal dan 3 Lampiran yang tersusun sebagai berikut.
        Lampiran I    :    Informasi yang diperlukan dalam notifikasi.
        Lampiran II    :    Informasi yang diperlukan untuk OHMG yang dimanfaatkan langsung sebagai pangan atau pakan, atau untuk pengolahan.
        Lampiran III    :    Kajian Risiko.
        Dalam kaitan itu, materi-materi pokok yang terkandung dalam Protokol Cartagena mengatur mengenai hal-hal sebagai berikut.

        a.    Persetujuan Pemberitahuan Terlebih Dahulu (Advance Informed Agreements)
            Persetujuan Pemberitahuan Terlebih Dahulu merupakan prosedur yang harus diterapkan oleh Para Pihak yang melakukan perpindahan lintas batas OHMG yang sengaja diintroduksi ke dalam lingkungan oleh Pihak pengimpor pada saat pengapalan pertama dengan tujuan untuk memastikan bahwa negara penerima mempunyai kesempatan dan kapasitas mengkaji risiko OHMG.
        b.    Prosedur Pemanfaatan OHMG Secara Langsung
            Prosedur ini berlaku untuk OHMG yang akan dimanfaatkan langsung sebagai pangan, pakan, atau pengolahan, dengan ketentuan bahwa Pihak pengambil keputusan (Pihak pengimpor) wajib memberi informasi sekurang-kurangnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran II kepada Balai Kliring Keamanan Hayati (Biosafety Clearing House) dalam waktu 15 hari setelah keputusan diambil, sesuai dengan peraturan nasional yang konsisten dengan tujuan Protokol.
        c.    Kajian Risiko (Risk Assessment)
            Kajian risiko merupakan penerapan prinsip kehati-hatian yang dilakukan untuk mengambil keputusan masuknya OHMG yang akan diintroduksi ke lingkungan.
            Kajian risiko harus didasarkan pada kelengkapan informasi minimum di dalam notifikasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan bukti ilmiah lain untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kemungkinan dampak yang ditimbulkan OHMG terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati dan juga risiko terhadap kesehatan manusia.
        d.    Manajemen Risiko (Risk Management)
            Manajemen risiko merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan kajian risiko yang mencakup penetapan mekanisme, langkah, dan strategi yang tepat untuk mengatur, mengelola, dan mengendalikan risiko yang diidentifikasi dalam kajian risiko.
            Kewajiban yang timbul dari penerapan manajemen risiko kepada Para Pihak ini adalah untuk menetapkan dan mengimplementasikan suatu sistem peraturan beserta kapasitas yang cukup untuk mengelola dan mengendalikan risiko tersebut.
        e.    Perpindahan Lintas Batas Tidak Disengaja dan Langkah-langkah Darurat (Emergency Measures)
            Perpindahan lintas batas tidak disengaja adalah perpindahan OHMG yang terjadi di luar kesepakatan Pihak pengimpor dan Pihak pengekspor. Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah melalui notifikasi kepada Balai Kliring Keamanan Hayati (Biosafety Clearing House) apabila kemungkinan terjadi kecelakaan dan memberitahukan titik kontak yang dapat dihubungi serta berkonÿÿÿÿÿÿi deÿÿÿÿ Pÿÿak yanÿÿmuÿÿÿÿn diÿÿgikaÿÿÿÿas sÿÿiaÿÿpelepasan OHMG.
        f.    Penÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿgangkutan, Pengemasan, dan Pemanfaÿÿan
            Pengaturan masalah penanganan, pengangkutan, pengemasan dan pemanfaatan OHMG merupakan bagian dari upaya menjamin keamanan pengembangan OHMG sesuai dengan persyaratan standar internasional.
        g.    Balai Kliring Keamanan Hayati (Biosafety Clearing House)
            Balai Kliring Keamanan Hayati (Biosafety Clearing House) adalah badan yang dibentuk oleh Para Pihak berdasarkan Pasal 20 Protokol Cartagena untuk memfasilitasi pertukaran informasi di bidang ilmiah, teknis, lingkungan hidup, dan peraturan mengenai OHMG, hasil keputusan AIA dalam melaksanakan Protokol.
        h.    Pengembangan Kapasitas
            Untuk mengembangkan dan memperkuat sumber daya manusia dan kapasitas kelembagaan negara berkembang dalam melaksanakan Protokol Cartagena, Pasal 22 Protokol Cartagena mengatur pengembangan kapasitas yang mewajibkan kerja sama dengan mempertimbangkan kebutuhan, kondisi serta kemampuan negara berkembang, dan negara yang mengalami transisi ekonomi. Bantuan kerja sama dapat berupa pelatihan ilmiah dan teknis, alih teknologi dan keterampilan, serta bantuan keuangan.
        i.    Kewajiban Para Pihak Kepada Masyarakat
            Protokol mewajibkan Para Pihak untuk :
            a.    meningkatkan dan memfasilitasi kesadaran, pendidikan dan partisipasi masyarakat berkenaan dengan pemindahan, penanganan, dan penggunaan OHMG secara aman;
            b.    menjamin agar masyarakat mendapat akses informasi OHMG;
            c.    melakukan konsultasi dengan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan menyediakan hasil keputusan kepada masyarakat.   
    4.    Undang-undang yang Terkait Langsung dengan Protokol Cartagena
        Protokol Cartagena sejalan dengan peraturan perundang-perundangan nasional yang terkait antara lain :
        a.    Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556);
        b.    Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
        c.    Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
        d.    Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656);

II.    PASAL DEMI PASAL
   
    Pasal 1
        Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahan dalam bahasa Indonesia, maka dipergunakan salinan aslinya dalam bahasa Inggris.
   
    Pasal 2
        Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4414

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya