Perang Pandan, Cara Bali Kenang Dewa Indera

tradisi perang pandan di Bali
Sumber :
  • Peni Widiarti | VIVAnews

VIVAnews - Tidak selamanya perang itu karena permusuhan. Seperti halnya di Bali, peperangan justru dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi Dewa Indra atau Dewa Perang.

Tradisi kuno yang sudah ada sejak jaman nenek moyang masyarakat Bali itu, digelar setiap tahunnya di bulan Juni. Bahkan pagelaran ini mampu menarik perhatian warga dan para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Luka-Luka, itulah yang diderita para peserta usai melakukan tradisi ‘Perang pandan’. Tradisi seperti ini hanya ada di desa Tenganan, Penggringsingan, Karangasem-Bali .

"Tradisi ini mengingatkan kita kepada Dewa Indera, dimana Dewa Indera adalah sebagai dewa perang," kata I Nengah Timur, Klian (Kepala lingkungan) adat desa Tenganan, Penggringsingan, kemarin.

Selain mengingatkan kepada Dewa Indera, tradisi ini juga untuk mengingatkan bahwa desa Tenganan merupakan suatu desa yang memiliki benteng, sehingga dianggap perlu dilengkapi dengan kekuatan atau pertahanan prajurit.

"Desa yang memiliki benteng harus dilengkapi dengan kekuatan atau pertahanan prajurit, tentunya harus dengan latihan perang, dan disimbolkan dengan perang pandan. Dipilih pandan sebab durinya tidak menyebabkan infeksi karena duri pandan hanya menancap pada kulit tidak sampai ke daging," jelasnya.

Tradisi yang dilakukan setiap setahun sekali ini dipercaya sebagai tradisi yang tidak boleh tidak dilakukan meski secara otentik belum terbukti sejak kapan tradisi ini ada di desa Tenganan.

"Memang belum ada bukti sejak kapan, tapi secara turun temurun harus dilakukan. Dan sejauh ini kami belum pernah tahu dampaknya jika tidak dilakukan. Tapi tetap harus dilakukan apapun halangannya," jelasnya.

Sebelum melakukan perang pandan, peserta sebelumnya wajib didahului dengan ritual bersembahyang bersama. Usai bersembahyang, dengan diiringi tabuhan gending tradisional desa Tenganan, para peserta mulai berkumpul di arena perang.

Dengan menggenggam daun pandan yang berduri serta tameng yang terbuat dari rotan, secara bergantian satu lawan satu pun mulai berperang dengan menancapkan daun pandan ketubuh lawan lalu menariknya hingga menimbulkan luka-luka bahkan berdarah.

"Perang pandan ini tidak ada yang dianggap menang atau kalah. Hanya sebagai tradisi dan hiburan," kata Nengah.

Usai perang pandan berakhir, para peserta yang terluka akan segera diberi obat tradisional yang terdiri dari cuka, kunyit dan beberapa ramuan lainnya.

Meski dahulu tradisi ini hanya boleh dilakukan oleh para pengikut Dewa Indera, namun sekarang tradisi ini bisa diikuti oleh siapapun asalkan memenuhi syarat tradisi, seperti wajib mengenakan pakaian adat. Matt misalnya, wisatawan asal Australia yang ikut berperang dalam tradisi ini.

"Tidak sakit. Saya merasa senang, dan saat perang merasa diri saya menjadi orang yang kuat," ungkap Matt.

Menurut Ketut Budiartha (9) salah seorang anak Desa Tenganan yang baru pertama kali mengikuti tradisi ini merasa kapok, meski penasaran.

"Sakit sekali. Tapi awalnya ingin agar pernah mencoba saja. Tahun depan nggak lagi. Kapok…., tunggu nanti dewasa aja," Ungkapnya.

Tradisi ini selalu ada tiap tahun dan selalu jatuh dibulan Juni sesuai dengan perhitungan kalender khusus yang dimilik oleh desa Tenganan.

"Jatuh tanggalnya tidak tentu, tapi selalu bulan Juni baik akhir maupun awal bulan," kata I Nengah Timur.

Sebelum menggelar tradisi perang pandan, para perempuan desa menyajikan beragam sesaji dan buah-buahan. Ini merupakan ungkapan syukur untuk Tuhan Yang Kuasa.

Setelah itu, ketua adat menuangkan arak ke tanah untuk mensucikan lokasi. Kemudian, perang pandan pun dimulai.  (umi)

Laporan : Peni Widarti | Bali

Meski Negaranya Tengah Dilanda Aksi Terorisme, Rusia Tetap Kirim 29 Ton Bantuan ke Gaza
Mak Vera.

Mak Vera Tepati Janji, Datang ke Makam Olga Syahputra Tengah Malam

Bahkan setiap tahun, Mak Vera selalu datang ke makam Olga Syahputra untuk kirim doa tepat di hari lahirnya yakni 8 Fabruari dan hari meninggalnya.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024