- VIVAnews/Tri Saputro
VIVAnews - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengakui, politik uang adalah bagian yang tak terpisahkan dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkad).
Hal itu dapat dilihat dalam sengketa Pilkada yang disidangkan di MK.
”Politik uang itu terjadi di semua Pilkada (yang disengketakan di MK),” kata Mahfud dalam Refleksi 2010-Proyeksi 2011 Kinerja MK di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin 3 Januari 2011.
Namun, sekalipun semua Pilkada yang disengketakan selalu ada politik uang, hal itu tidak selalu membuat gugatan pilkada dikabulkan. Sebab, kata dia, politik uang tidak dapat bisa dibuktikan terkait dengan perolehan suara.
Mahfud mengungkapkan, politik uang juga tidak dapat dijadikan alasan pembatalan pilkada. "Kecuali jika pelanggarannya (politik uang) sudah kronis yang sistematis, masif, dan terstruktur," kata mantan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.
Pelanggaran yang bersifat terstruktur, masif, dan sistematis itu contohnya adalah pelanggaran yang melibatkan aparat pemerintahan daerah atau pemerintah pusat.
Pada 2010, tercatat 230 perkara sengketa Pilkada yang masuk ke MK. Dari jumlah itu, ada enam perkara yang belum diputus. Sementara dari 224 perkara yang telah diputus, 26 di antaranya dikabulkan oleh MK.
"Maka, hanya sekitar 11 persen perkara sengketa Pilkada yang dikabulkan permohonannya," Mahfud menjelaskan.
Beberapa sengketa Pilkada yang permohonannya dikabulkan adalah sengketa Pilkada Kota Surabaya, Pilkada Kotawaringin Barat, Pilkada Bangli, Pilkada Konawe Selatan, Tangerang Selatan dan Pilkada Lamongan. (umi)