Sejarawan LIPI:

Pembantaian 40.000 Orang Sulsel Bisa Digugat

Raymond Westerling
Sumber :
  • verouden.pijnackerweb.nl

VIVAnews -- Terkejut dan haru dirasakan warga Rawagede ketika mendengar putusan Pengadilan Den Haag, Belanda: mereka menang, setelah 64 tahun pasca pembantaian, Belanda dinyatakan bersalah secara hukum.

Putusan tersebut tak hanya berdampak untuk Rawagede. Sebab, sejatinya bukan hanya mereka yang jadi tumbal Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Proses hukum yang sama bisa diterapkan dalam kasus pembantaian tentara Belanda yang dipimpin Raymond Pierre Paul Westerling di Sulawesi Selatan pada 1946 sampai 1947.

Pemerintah Indonesia mencatat, korban mencapai angka fantastis, 40.000 ribu orang. Sementara, pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000. Sedangkan Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.

Dengan alasan mencari 'kaum ekstremis', 'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh' -- Westerling masuk ke kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya, dibunuh.

Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk -- sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala.

"Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.

Sejarawan LIPI, Asvi Marwan Adam mengatakan, Westerling dan pasukannya dikirim Belanda untuk menumpas gerilyawan yang meresahkan Belanda. Lalu, pembantaian pun terjadi. "Pembunuhan yang dilakukan Westerling tak hanya terjadi di suatu tempat, berulang-ulang di berbagai daerah di Sulsel," kata dia saat dihubungi VIVAnews.com, Jumat 16 September 2011. Alasannya mencari pada gerilyawan yang ia sebut 'teroris'.

Ini berbeda dengan kasus di Rawagede, tentara Belanda masuk dengan alasan mencari pejuang Lukas Kustaryo yang dianggap meresahkan. "Pembantaian dilakukan di satu tempat, pada satu saat, ada saksi," kata Asvi. Rawagede lebih spesifik.

Ditambah  lagi, terkait Rawagede, ada surat menyurat tentara Hindia Belanda Jenderal Spoor dengan Jaksa Agung Felderhof agar pelaku tak diadili.

Asvi menduga, pembuktian Rawagede lebih mudah dari pada kasus Westerling yang dilakukan di beberapa tempat. Namun, tambah dia, jika saksi-saksi masih hidup, gugatan kasus ini bisa diajukan ke pengadilan.

Faktor lain yang diduga akan mempersulit adalah bahwa saat ini pemerintahan Belanda dikuasai kaum kanan -- anti migran. "Saya juga terkejut, saya mengira gugatan Rawagede akan ditolak, ternyata pengadilan Belanda cukup independen," kata Asvi. Meskipun, tak ada perintah minta maaf dan ada upaya mengurangi kompensasi pada keluarga korban.

"Bagi saya yang lebih penting, implikasinya bagi Indonesia -- ia mengajarkan bahwa kasus  pelanggaran HAM tak ada kadaluarsa. Harus dituntaskan. Belanda saja bisa diperkarakan soal kasus pelanggaran yang sudah lama di Indonesia. Kasus pelanggaran HAM di dalam negeri mengapa tidak?"

Prediksi Semifinal Piala FA: Coventry City vs Manchester United
Politisi DPP PKB, Daniel Johan

DPP Berani Ungkap Indonesia sedang Dilanda Krisis Paling Berbahaya

Ketua DPP BERANI, Lorens Manuputty menyoroti tiga krisis yang terjadi di Indonesia saat pelantikan tersebut. Menurut dia, Indonesia saat ini sedang mengalami krisis yang

img_title
VIVA.co.id
20 April 2024