- ANTARA/Fachrozi Amri
VIVAnews - Pusat Telaah & Informasi Regional (Pattiro) menyatakan beras miskin alias raskin yang sampai ke masyarakat ternyata tidak layak konsumsi. Buruknya kualitas itu antara lain adanya tingkat patahan yang tinggi, warna beras kusam, berbau, serta berkutu. "Untuk sebuah program adhoc yang sudah berjalan hampir 14 tahun, maka kenyataan demikian memunculkan pertanyaan besar," kata Peneliti Pattiro Abdul Waidl di Jakarta, Senin 23 April 2012.
Menurut dia, meski keluhan atas kualitas beras itu kerap disuarakan, tetapi belum ada evaluasi serius dan signifikan bagaimana membenahinya. Temuan di lapangan, masyarakat menghadapi kualitas raskin yang buruk itu dengan menerima dan dikonsumsi, menerima dan dibuang, menolak pemberian, hingga mengadukannya kepada DPRD. "Bila kenyataan ini terus terjadi, maka makin besar pula ketidakpercayaan publik kepada pemerintah," ujar Waidl.
Regulasi dinilai Waidl menjadi penyebab buruknya kualitas itu. Dia memaparkan, regulasi hanya mengatur standar kualitas beras dari dalam negeri. Padahal, sebagian besar pengadaan beras dari luar negeri. "Beras impor didatangkan ketika pengadaan dalam negeri tidak mencukupi. Tetapi, perum Bulog tetap mengimpor bahkan saat Indonesia per 2008 sudah dinyatakan swasembada beras," katanya.
Menurutnya, pada 2011, dari 3,1 juta ton kebutuhan raskin, minimal 2,5 juta ton dipenuhi melalui impor. "Regulator tidak memberikan sanksi bila pengadaan tidak memenuhi standar kualitas," ujarnya.
Kepala Divisi Pengawasan Kualitas Beras Perum Bulog Bambang Januardi mengatakan, monitoring terhadap kualitas gabah dan beras yang disimpan di gudang Perum Bulog dilakukan secara rutin 15 hari sekali atau dua kali dalam sebulan. "Hasil monitoring dituangkan dalam bentuk laporan dan sebagai dasar untuk pelaksanaan perawatan kualitas," kata Bambang.