- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVAnews – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah-daerah belakangan menuai kecaman karena banyak membebaskan terdakwa kasus pidana korupsi. Terlebih setelah KPK menangkap dua hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang pada 17 Agustus 2012.
Wacana pembubaran Pengadilan Tipikor atau perubahan Undang Undang tentang Pengadilan Tipikor pun menyeruak. Menanggapi hal ini, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menyarankan agar UU Pengadilan Tipikor tak perlu diubah.
“Baiknya ada pengaturan bahwa ketentuan UU tidak usah sepenuhnya difinalkan, sehingga pembentukan peradilan tipikor bisa bertahap,” kata Jimly di Jakarta, Selasa 21 Agustus 2012.
Lebih lanjut, Jimly berpendapat di seluruh wilayah Indonesia cukup ada lima Pengadilan Tipikor. Hal ini untuk mencegah adanya penyimpangan UU yang menyatakan Pengadilan Tipikor harus ada di seluruh wilayah Indonesia.
“Meskipun UU mengatur Pengadilan Tipikor ada di seluruh Indonesia, tapi untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan dan membuat Pengadilan Tipikor di seluruh Indonesia lebih baik, dikembalikan per wilayah saja dulu. Tidak berarti bertentangan dengan UU, cuma ketentuan UU itu dijalankan secara bertahap,” ujar Jimly.
Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan membuat lima Pengadilan Tipikor yang menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Contohnya di Pulau Jawa hanya ada satu Pengadilan Tipikor, begitu juga di Sulawesi, Jawa-Bali, dan Kalimantan. Selebihnya untuk beberapa provinsi sisanya dijadikan satu Pengadilan Tipikor saja.
“Sehingga tidak perlu seperti sekarang, setiap propinsi dan kabupaten ada Pengadilan Tipikor,” terang Jimly. Sistem ini menurutnya mempermudah pengawasan di Pengadilan Tipikor, termasuk dalam memantau hakim-hakim ad hoc tipikor yang tidak bermutu.