Ketika 'Rumah' Orangutan Semakin Menyusut

Orangutan di Ragunan
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVAnews
Polisi Tetapkan TikToker Galih Loss Jadi Tersangka Kasus Dugaan Penodaan Agama
- Tak mudah menjumpai orangutan, bahkan di tempat yang menjadi populasi terbesar binatang tersebut. Di Taman Nasional Kutai (TNK), Kutai Timur, Kalimantan Timur yang disebut sebagai tempat hidup 2.000 lebih orangutan pun sangat sulit menemukan makhluk primata itu.

Presiden PKS: Kami Belum Dapat Pasangan Ajukan Hak Angket

Perjalanan mencari orangutan di TNK dilakukan saat Journalist Field Trip Taman Nasional Kutai (TNK). Waktu perjalanan sebenarnya dua malam tiga hari. Namun, jauhnya jarak tempuh menuju lokasi taman nasional membuat waktu tinggal di dalam hutan hanya satu hari satu malam.
Apindo Sebut Keputusan MK Beri Kepastian Investasi dan Ekonomi


Dan satu hari satu malam berada di dalam TNK tidak cukup menemukan binatang yang kini terancam punah itu. Selama satu hari satu malam, dari 2.000 populasi orangutan, kami hanya berhasil bertemu dengan satu ekor primata ini.

TNK merupakan kawasan hutan konservasi yang terletak di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Kutai Timur tak sendiri, ada dua daerah lain yang wilayahnya berada di dalam kawasan TNK, yakni Bontang dan Kutai Kartanegara. Tapi, dari tiga daerah yang masuk dalam kawasan TNK itu, Kutai Timur memang menjadi penyumbang lahan terbesar. Tercatat, 80 persen lahan TNK masuk dalam kawasan administratif kabupaten itu.


TNK terbentuk berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Hindia Belanda (GB) Nomor: 3843/AZ/1934. Luas awal lahan TNK di tahun 1934 adalah 2 juta hektare. Namun kemudian oleh Pemerintah Kerajaan Kutai ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa Kutai melalui SK (ZB) Nomor: 80/22-ZB/1936 dengan luas 306 ribu ha. Pada 1971, terbit SK Menteri Pertanian dengan No 30/Kpts/ Um/6/1971, tanggal 23 Juli 1971. SK itu menyebutkan bahwa beberapa bagian TNK dilepas yakni seluas 106 ribu ha, 60 ribu ha yang masih asli untuk HPH PT Kayu Mas dan sisanya untuk perluasan Industri pupuk dan gas alam.


Luas TNK terus mengalami penyusutan, terakhir pada tahun 1995, keluarlah SK Menhut SK No.435/Kpts/XX/1991 yang memuat tentang pembentukan calon Taman Nasional Kutai. Dalam SK itu disebutkan bahwa luasan TNK dikurangi 1.371 ha untuk keperluan perluasan kawasan Bontang dan PT Pupuk Kaltim. Jadilah sampai sekarang luas TNK adalah 198.629 ha. 


Nah, belakangan, luas kawasan hutan ulin dengan kerapatan terluas di Asia Tenggara itu kembali terancam. Warga yang bermukim di sekitar kawasan TNK menuntut hak untuk memanfaatkan lahan taman raksasa tersebut. Warga meminta agar pemerintah mengabulkan permohonan enclave lahan TNK seluas 23,700 ha. Namun, usulan yang berdengung sejak tahun 2000 an awal itu hingga kini masih mandek di pusat. Sebab, TNK berupaya agar sistem pemanfaatannya bukan enclave, melainkan zona khusus. Tarik ulur penggunaan lahan itu yang masih macet hingga sekarang terus menuai masalah.


Enclave merupakan lahan milik pihak ketiga, bukan kawasan hutan, yang terletak di dalam kawasan hutan.


“Warga terus berusaha merangsek ke dalam kawasan TNK. Kami pun berupaya menjaga agar kelestarian dan kekayaan TNK tidak terus berkurang," kata Kepala Balai TNK Erli Sukrismanto.


Menurut dia, belum adanya keputusan mengenai status lahan warga yang bermukim di pinggir kawasan membuat Balai TNK serba salah.


Simpul masalahnya, kata Erli, berlarut-larutnya penyelesaian status lahan telah membuat warga berpikir bahwa mereka boleh berbuat apa saja di kawasan taman. Sebab, sengketa lahan membuat kawasan itu menjadi tak bertuan. Namun, pihak TNK tetap berpegang pada UU terdahulu, sebelum nanti ada keputusan baru yang keluar perihal status lahan di kawasan pinggiran taman.


Makin terjepit

TNK memang semakin terjepit. Keberadaan jalan poros Bontang – Kutai Timur yang membelah TNK menjadi gangguan paling nyata. Pembuatan jalan itu telah menimbulkan berbagai kerusakan ekosistem di dalam kawasan TNK. Belum lagi dengan berdirinya beberapa desa yang berada di pinggir jalan poros dan berbatasan langsung dengan taman nasional. Balai TNK mencatat, ada 144 akses jalan masuk ke dalam kawasan melalui jalan poros Bontang - Sengata. Ini menjadi dilema bagi mereka. Di sisi lain jalan itu merupakan penghubung strategis, namun di sisi lain jalan itu juga menjadi pintu masuk kerusakan bagi ekosistem dan kawasan taman yang mereka jaga.


Kembali ke Journalist Field Trip, kegiatan memasuki kawasan TNK itu dilakukan pada Jumat 15 Maret. Peserta bergerak dari Samarinda, Kalimantan Timur. Ada 20 reporter yang mengikuti kegiatan ini.


Dari Samarinda, rombongan bertolak menuju Bontang. Ini merupakan tempat menginap sebelum keesokan harinya menuju ke Sengata, Kutai Timur. Pada Sabtu pagi, puluhan wartawan kemudian menuju ke Kutai Timur. Rombongan tidak langsung menuju ke TNK. Namun lebih dulu singgah ke Desa Sangkima. Ini merupakan salah satu desa yang para warganya belum memiliki hak atas tanah yang mereka diami. Ribuan warga Sangkima masih berjuang untuk mengajukan enclave atas TNK.


Sangkima terletak di Km 37 Sengata - Bontang. Kawasan ini masuk daerah administratif Sengata. Di Sangkima, rombongan disambut oleh Kepala Desa Sangkima Lama, Murdoko. Murdoko didampingi para tokoh masyarakat dan tetua desa. Rombongan sempat berdikuskusi dengan para tetua Desa Sangkima di rumah Murdoko. Mereka mengeluh tentang sulitnya mendapatkan hak atas tanah yang telah bertahun-tahun mereka garap. Bagi warga di Sangkima, mereka akan menerima apapun putusan yang dikeluarkan oleh pemerintah asalkan itu disertai dengan kejelasan atas tanah dan wilayah yang saat ini mereka tempati.


"Sejak saat itulah, kami tak pernah benar-benar merasakan nikmatnya berada di atas tanah sendiri. Padahal, kami hanya menuntut hak paling dasar bagi manusia, yakni hak untuk hidup layak," katanya.


"Kenapa kami yang lebih dahulu bermukim di sini harus terus dibayang-bayangi dengan ancaman hukuman bila bersinggungan dengan TNK?”


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya