Bebaskan Buron BLBI, Majelis Hakim: Tak Ada yang Janggal

Para daftar buronan kasus BLBI.
Sumber :
  • kejaksaan.go.id
VIVAnews -
Terpopuler: Catherine Wilson Malu sampai Atta Halilintar Kirim Doa
Suhadi, Ketua Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp369 miliar, Sudjiono Timan angkat bicara terkait putusannya yang dinilai kontroversial. Suhadi yakin tidak ada kejanggalan dalam penanganan perkara mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) itu.

LIVE: Momen Bersejarah Raja Aibon Serahkan Tongkat Komandan Pasukan Tengkorak TNI ke Letkol Danu

Keputusan mendasar yang paling disorot dalam penanganan PK kasus Sudjiono adalah Surat Edaran MA (SEMA) yang mengatur bahwa pengadilan diminta menolak atau tidak melayani penasihat hukum yang menerima kuasa dari terdakwa/terpidana yang tidak hadir (in absentia) tanpa kecuali.
Kendarai Sepeda Motor Baru, Pelajar SMA di Brebes Terlindas Truk 


Suhadi beranggapan, SEMA itu berlaku mulai Juni tahun 2012, sementara permohonan PK kasus Sudjiono sudah masuk pada Januari 2012. Kemudian, berkas masuk ke majelis kehormatan hakim per April 2012.  Sesuai kesepakatan para hakim agung, imbuhnya, perkara PK yang masuk sebelum terbitnya SEMA itu, dilanjutkan. "Meskipun pengajuannya berdasarkan surat kuasa," kata Suhadi di ruang kerjanya, Jumat 23 Agustus 2013.


Dalam perkara Sudjiono, PK diajukan istrinya. "Dan pemohon (istri Sudjiono) hadir dalam persidangan," tukasnya.


Istri Sudjiono mengajukan PK itu berdasarkan aturan yang tercantum dalam KUHAP bahwa pihak yang bisa mengajukan PK adalah terdakwa/terpidana atau ahli waris. "Oleh majelis, istri dianggap ahli waris," kata Suhadi.


Perbuatan melawan hukum materil


Selanjutnya yang menjadi pertimbangan majelis adalah perbuatan melawan hukum (PMH) secara materil yang dilakukan Sudjiono dalam perkara ini. Di tingkat kasasi, Desember 2004, Sudjiono divonis 15 tahun penjara karena melakukan perbuatan hukum materil, yaitu melanggar kepatutan jabatan sebagai direktur utama. Artinya, Sudjiono divonis bukan karena melanggar undang-undang.


Kemudian, ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menilai penerapan PMH secara materil itu bisa melanggar kepatutan dan ketidakhati-hatian. Oleh karena itu, MK menganggap PMH secara materil tidak boleh digunakan karena melanggar Undang-Undang Dasar 1945.


"Itu yang menjadi salah satu pertimbangan majelis PK," ujarnya. Dalam hal ini, majelis tingkat PK, sependapat dengan pengadilan tingkat pertama yang menyatakan perkara ini adalah perdata dan bukan tindak pidana.


Meski dikategorikan perdata, tapi majelis kasasi menganggap pengeluaran kreditnya terlalu besar dan tidak sesuai dengan kepatutan. "Jadi juga tidak salah putusan kasasi itu, cuma karena ada perubahan Undang-undang. Nah, itu pilihannya menguntungkan bagi terdakwa," terangnya. (umi)



Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya