Manusia Gerobak Pontianak: Suami-Istri dengan Empat Anak

Manusia gerobak dari Pontianak
Sumber :
  • VIVAnews/ Aceng Mukaram
VIVAnews
Kementan Lepas Ekspor Komoditas Perkebunan ke Pasar Asia dan Eropa
- Pagi itu Jamilah  tampak sibuk mengurusi anak ke empatnya yang tengah sakit. Ia pun bingung harus mendapat uang biaya pengobatan itu dari mana. Karena, setiap harinya wanita berusia 28 tahun ini sehari-hari berkeliling kota memungut barang bekas beserta suami dan empat anaknya itu.

Cole Palmer Jadi Pusat Perhatian Jelang Man City vs Chelsea

“Saya bingung harus dapat uang dari mana untuk anak saya ini. Karena saya tak punya uang. Ada uang, tapi hanya cukup untuk makan saja,” tutur Jamilah saat dijumpai
Mayat Wanita 'Open BO' Ditemukan di Pulau Pari, Polisi Teliti Penyebabnya Lewat Cara Ini
VIVAnews, Kamis pagi 19 September 2013.


Lalu lalang kendaraan dipinggiran jalan tak menyurutkan ia terus sabar untuk merawat anak keempatnya yang berumur  9 bulan. Bayi itu merengek. Flu dan pilek tampaknya.


Setelah selesai berkeliling kota, ia biasa beristirahat di Jalan Alianyang, Kelurahan Sungai Bangkong, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.


Gerobak berukuran sempit; panjang dua meter dengan lebar satu meter itulah menjadi saksi hidup kedua pasangan ini, Atmono (30) dan Jamilah.


“Anak saya dinaikkan ke atas saat berjalan mencari barang bekas. Sementara istri saya dari belakang mendorong gerobak. Saya di depan pengendali gerobak,” ujar pria yang tetap tampak bersemangat ini.


Atmono dan Jamilah memiliki empat anak, masing-masing berusia tujuh tahun, empat tahun, dua tahun dan sembilan bulan.


Atmono setiap harinya mencari barang bekas keliling Kota Pontianak ini. Lalu dijual ke penampung. “Bekas botol minuman, kardus, botol, buku-bekas dan yang lainnya saya pungut. Pokoknya apa saja yang penting bisa dijual. Dalam sehari kadang dapat Rp50 ribu hingga Rp100ribu,” katanya yang mengaku hingga saat ini belum pernah mendapat bantuan apapun dari pemerintah setempat ini.


Sudah dua tahun Atmono menjalani profesi pemulung ini. “Dulu pernah kerja di dinas kebersihan kota selama dua tahun. Saya akhirnya behenti karena sehari dibayar Rp20 ribu, mana saya mampu (hidup dengan gaji sebesar itu). Manalah cukup,” ucapnya.


Hingga saat ini ia tidak mempunyai tempat rumah tinggal. Hanya gerobak kecil itulah yang setia menemaninya setiap saat. Hujan maupun panas ia tetap tegar berusaha mencari rezeki. “Yang penting saya tidak mencuri. Saya tak punya rumah. Makanya saya ini di gerobak saja setiap harinya siang dan malam,” katanya.


Namun demikian, ia mengakui setiap hari ada juga yang belas kasihan memberi uang dan  makanan. "Kalau seandainya ada yang menyuruh saya menjaga rumah, saya mau, tapi tak ada,” katanya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya