Kisah Alotnya Negosiasi Pembebasan Usman-Harun

Pemakaman Usman Harun
Sumber :

VIVAnews - Abdul Rachman Ramly adalah mantan petugas penghubung (liasion officer/LO) yang mewakili pemerintah RI dalam negosiasi pembebasan Usman bin Hasan Ali dan Harun bin Said, dua anggota Korps Komando Operasi yang dihukum gantung di Singapura pada 1968 lalu. Ramly menuturkan betapa alotnya proses negosiasi saat itu. Bahkan banding harus dilakukan di London, karena Singapura masuk dalam anggota negara-negara persemakmuran.

Dalam buku "Soeharto The Untold Stories", Ramly menuturkan, saat ditunjuk Soeharto sebagai LO, ia berpangkat letnan kolonel Angkatan Darat. Dan, saat itu Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik dengan negeri Singa. Hubungan kedua negara juga terpuruk ke titik nadir setelah Usman dan Harun dituduh melakukan infiltrasi karena meledakkan bom di MacDonald House pada 10 Maret 1965. Bom menewaskan tiga orang dan melukai 33 orang lainnya. Usman dan Harun menghadapi tiang gantungan pada 17 Oktober 1968.

Setelah 46 tahun berlalu, TNI memutuskan menggunakan nama Usman dan Harun untuk KRI jenis fregat yang dibeli dari Inggris. Inilah yang membuat Singapura meradang lagi.

Ramly menuturkan, tugas membebaskan Usman dan Harun saat itu ternyata tidak ringan karena meski Indonesia sudah memasuki Orde Baru, dan masalah Usman-Harun terjadi di masa Orde Lama, Singapura  tetap ingin menyelesaikan masalah ini lewat jalur hukum. Karena Singapura masuk dalam negara-negara persemakmuran (bekas jajahan Inggris), maka proses banding harus dihelat di London.  Saat itu Indonesia dibantu pengacara asal Singapura. Sayangnya, proses banding itu tidak diterima.

Kabar yang didapat justru sebaliknya, Usman dan Harun akan secepatnya dieksekusi. "Tentu saja saya kecewa dan mengajukan permohonan untuk menunda hukuman itu," kata Ramly. Saat itu ia beralasan akan melapor dulu ke pemerintah pusat di Jakarta dan mengabarkan soal hukuman itu kepada keluarga Usman dan Harun.

Belum melapor ke Soeharto, Ramly ditemui beberapa orang dari Departemen Luar Negeri RI yang menyarankan ia tidak melaporkan masalah itu. Alasannya, tidak ada guna, dan akan menganggu hubungan kedua negara. "Mereka rupanya tidak paham kepemimpinan militer. Bagi kami, masalah anak buah harus kami tuntaskan. Bagi saya pribadi, saya juga tidak bisa membiarkan warga Indonesia mendapat masalah di luar negeri," kata Ramly.

Ramly kemudian memutuskan melapor ke Soeharto. Saat menyampaikan laporan itu, Soeharto sempat bertanya kepadanya, kenapa Singapura ingin sekali menggantung Usman dan Harun. Ramly menyimpulkan, sebagai negara kecil, Singapura ingin eksis, karenanya alasan yang dipakai adalah penegakkan rule of the law. Jadi ditetapkanlah hukuman mati.

Saat melapor itu, Ramly sempat meminta Singapura mengupayakan tindakan lain, misalnya hukuman seumur hidup atau lainnya. Soeharto pun sepakat mengupayakan berbagai cara agar Usman dan Harun tidak digantung.

Dia lalu meminta Soeharto menulis surat kepada pemerintah Singapura yang isinya menyatakan Indonesia tidak keberatan Singapura menerapkan ketentuan hukum mereka, agar tidak menghukum mati dua warga Indonesia. Soeharto  setuju.

Berbekal surat Soeharto, Ramly secepatnya berangkat ke Singapura menemui presidennya saat itu, Yusuf Ishak. Sayang Yusuf Ishak tidak mengurus soal pemerintahan. Urusan pemerintahan ada di tangan PM Lee Kuan Yew yang saat itu sedang melawat ke Amerika Serikat.

Ramly kemudian menelusuri perjalanan PM Lee dan diketahui saat itu ia sedang singgah di Tokyo, Jepang. Ia lalu menghubungi Dubes RI di Tokyo ketika itu, Rukminto Hendraningrat, agar menemui PM Lee dan menyampaikan permohonan Presiden Soeharto agar tidak menggantung Usman dan Harun.

4 Pria Terkapar Babak Belur di Depan Polres Jakpus, 14 Anggota TNI Diperiksa

Alasan Cuti

Namun, dengan alasan sedang cuti, PM Lee menyatakan tidak bisa mengambil keputusan apa pun. Wakil perdana menterilah yang memiliki wewenang. Ramly kemudian menemui wakil perdana menteri Singapura. Jawabannya, surat sudah diterima dan permintaan itu akan dipikirkan. Tetapi sepuluh hari kemudian pemerintah Singapura menyatakan hukuman mati tetap dilaksanakan.

"Terkaget-kaget saya mendengarnya. Saya lalu berusaha agar sedapatnya menangani jenazah dengan baik," kata Ramly. Ia lalu meminta Jakarta mengirimkan pesawat untuk menjemput jenazah.

Peristiwa ini menempatkan hubungan Indonesia-Singapura dalam posisi terburuk. Menjelang hukuman gantung, seluruh staf kedutaan Indonesia di Singapura dipulangkan kecuali atase pertahanan dan beberapa staf lain. Kapal-kapal RI juga dikerahkan mengangkut warga Indonesia dari negeri itu. Di lapangan Halim Perdanakusumah, masyarakat menyemut menyambut jenazah Usman dan Harun.

Yang mengesankan Ramly, dua tahun usai hukuman mati itu, Soeharto juga memberi 'hukuman' lain kepada PM Lee yang ingin berkunjung ke Indonesia. Soeharto mempersilakan PM Lee datang dengan syarat yang tidak lazim namun disetujui. PM Lee harus menaburkan bunga di atas pusara Usman dan Harun di TMP Kalibata. Padahal tamu negara biasanya hanya meletakkan karangan bunga di kaki tugu makam pahlawan. (ren)

Kemenhub Pastikan Mudik 2024 Lancar, Intip Daerah Tujuan Terbanyak hingga Angkutan Terfavorit
Sidang Lanjutan sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024 di MK

Sidang Sengketa Pilpres, MK Pertimbangkan Hadirkan Mensos hingga Menkeu

Kubu 01 dan 03 meminta izin ke MK agar bisa menghadirkan sejumlah menteri dalam persidangan sengketa Pilpres 2024.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024