UU Pemilihan Presiden

DPR akhirnya mengesahkan RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada hari Rabu, 29 Oktober 2008. Undang-undang ini terdiri atas 21 bab yang berisi 262 pasal. Dalam sidang paripurna ini, tiga fraksi mengajukan catatan keberatan (minderheitsnota), yaitu Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Kebangkitan Bangsa, terutama pada aturan tentang syarat persentase dukungan pengajuan serta rangkap jabatan capres dan cawapres. Untuk syarat persentase dukungan pengajuan pasangan capres dan cawapres, DPR menetapkan syarat minimal 20% kursi parlemen dan 25% perolehan suara nasional dalam pemilu. Sedangkan soal rangkap jabatan, DPR tidak mengatur secara tegas dalam pasal tersendiri, hanya dimuat dalam pasal penjelasan.


FPAN melalui jurubicaranya Andi Yuliani Paris mengajukan nota keberatan atas angka yang disepakati untuk mengajukan calon presiden dan cawapres, yakni 20 persen kursi DPR atau 20 persen suara dan soal rangkap jabatan yang tidak diatur dalam undang-undang ini. Pada dasarnya, PAN tetap pada syarat 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara dan menolak angka 20 persen kursi dan 25 persen suara sebab ketentuan yang ada di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 belum sepenuhnya dilaksanakan.

Sedangkan FKB dan FPKS mengajukan nota keberatan atas soal rangkap jabatan. Menurut jurubicara FPKS Agus Purnomo, mengenai pengaturan rangkap jabatan ini penting untuk memberi penegasan bahwa presiden dan wakil presiden berkeinginan sepenuh hati untuk melaksanakan program-program pemerintahan dengan tidak dibebani urusan partai. Sebab capres dan cawapres terpilih harus bekerja untuk rakyat. Jabatan lain di luar tugas kepresidenan diharapkan tidak mengorbankan kepentingan rakyat.

Sementara itu, bagi Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), syarat inimal 20% kursi parlemen dan 25% perolehan suara nasional dalam pemilu adalah syarat kompromistis yang bisa dicapai.


Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, sebagai wakil pemerintah, beranggapan bahwa penyempurnaan UU Pilpres ini ditujukan untuk memperkuat sistem sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Beberapa fraksi mengusulkan agar dalam revisi UU Pilpres mendatang diupayakan menyatukan pemilu legislatif dan pilpres.

Usulan tersebut disampaikan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (FPDI) Perjuangan. Menurut FPDI Perjuangan pelaksanaan pemilu yang jadwalnya disamakan akan menghemat biaya lebih dari satu triliun.

Senada dengan usulan diatas, jurubicara FPPP Tamam Achda mengatakan, manfaat penyatuan pemilu akan jauh lebih besar daripada dibuat terpisah seperti sekarang ini karena selain dapat menghemat dana waktu sumber daya manusia dan pengorganisasiannya, sehingga dapat mendorong terbentuknya koalisi permanen di antara partai-partai politik pemenang pemilu yang sehingga akan terbentuk sebuah sistem presidensial yang kuat.

Fraksi PDI Perjuangan menyatakan bisa menerima angka 20 persen kursi dan 25 persen suara sah nasional dalam lobi Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres). Sebab dengan rumusan kompromistis seperti ini pun sudah memungkinkan implementasi pemikiran dasar PDI Perjuangan, yakni agar biaya politik pilpres tidak terlalu mahal dan bisa dilakukan satu putaran.

Ungkit Panasnya Debat di Pilpres 2024, Prabowo: Tapi Kita Tetap Satu Keluarga
Sejumlah pengendara kendaraan bermotor mengalami kemacetan lalu lintas di Tol Dalam Kota dan Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta, Senin (18/5/2020).

8 Negara dengan Penurunan Tercepat di Asia

Seringkali, negara di Asia mengalami fluktuasi yang signifikan dalam berbagai indikator kunci seperti pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan stabilitas politik.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024